SYEKH JUMADIL KUBRO MAJAPAHIT
Membincangkan Islamisasi tidak bisa dilepaskan dari peran pendidikan di dalamnya. Karena antara Islamisasi dan pendidikan saling berkaitan erat. Untuk menyukseskan Islamisasi diperlukan pendidikan sebagai upaya penyebaran ide-ide Islam ke dalam nalar masyarakat. Islamisasi akan berhasil jika memperhatikan pendidikan masyarakat dengan baik. Islamisasi akan mendulang sukses jika pendidikannya di tata dengan apik, efektif sesuai dengan local genius masyarakat..
Dalam tulisan ini, penulis hendak mengambil mutiara hikmah perjalanan Syekh Jumadil kubro dalam mengembangkan Islamisasi di tanah jawa khususnya keterkaitannya dengan pendidikan yang dikembangkannya dalam masyarakat heterogen di Majapahit. Penulis berkeinginan untuk mencari model pendidikan yang ideal di Majapahit kemudian ditarik dalam ranah kekinian untuk dikembangkan dalam membangun masyarakat seperti kondisi masyarakat saat ini. Karena penulis berkeyakinan bahwa masyarakat Indonesia seperti kondisi saat ini tidak begitu jauh dengan kondisi Majapahit kala itu. Lihat saja term-term yang dipakai pemimpin-pemimpin kita dari Sukarno sampai Suharto hingga berlanjut zamannya Susilo Bambang Yudhoyono. Kata istana, nusantara, dan lain sebagainya. Strategi-strategi politik pun tidak bisa dilepaskan dari Majapahit. Bahkan wilayah Indonesia seperti saat ini konon juga merupakan peninggalan denah wilayah yang dikuasai Majaphit.
Pendidikan Islam Dalam Ranah Sejarah
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat Muslim. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam sistem yang sederhana.
Pendidikan Islam mencapai bentuknya hingga sekarang ini merupakan hasil dari proses Muslim menyikapi ajaran agamanya, karena Muslim dalam melakukan tindakannya senantiasa didasarkan pada acuan teks wahyu yang matluw (al-Quran) atau yang ghairu matluw (Hadis).[1] Evolusi ini berlangsung cukup lama, mulai dari periode klasik (650 – 1250 M) saat nabi Muhammad saw. mengajarkan Islam kepada masyarakat Makkah dan Madinah, disusul masa khilafah Rasyidah, kemudian khilafah bani Umayyah, dan khilafah bani Abbasiyah. Proses ini terus berlanjut pada periode pertengahan (1250 – 1800 M) yang ditandai dengan kemunduran Islam dan akibat serangan Mongol serta muncul dan tenggelamnya tiga kerajaan besar, yakni Usmani di Turki, Safawi di Persia, Mughal di India. Hingga periode modern; 1800 sampai sekarang.[2]
Dinamisasi proses pendidikan Islam tersebut berlangsung baik secara internal sebagai hasil ijtihad muslim dalam menyikapi kebutuhan umatnya, maupun eksternal sebagai akibat dari interaksi dengan umat dan budaya lain dimana Muslim berkomunikasi, seperti dengan bangsa yang ditaklukkan dalam ekspansinya, persentuhan dengan alam pemikiran Yunani, Persia, India, Cina, Mesir, maupun dengan kolonialisasi Barat, dan dunia global dewasa ini.
Meskipun terjadi perbedaan corak dan mode karena pengaruh dimensi tempat dan waktu.[3] Tetapi sumber pendidikan Islam esensinya tetap sama, yaitu al-Qur'an dan Hadis Nabi saw. Adanya variable ruang dan waktu yang terbentang antara nabi Muhammad saw. dengan keberadaan muslim pada zamannya melahirkan buah karya peradaban Islam yang beragam (seperti Fiqih, ilmu Kalam, Filsafat, Sufisme, Kebudayaan, Teknologi, dan lain-lain) sebagai hasil dari muslim membaca Islam dan menafsirkannya. Perambahan dan pengembangan peradaban Islam tersebut tidak lepas dari peranan pendidikan Islam sejak masa awalnya sampai sekarang.
Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di atas bisa dirujuk dari masa Rasulullah saw. memulai pendidikan Islam dalam bentuknya yang paling awal sampai pada masanya Islam memberi kontribusi yang sangat besar terhadap peradaban dunia, dan telah memberi pengaruh yang sangat yang luas dalam rentang waktu berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, terutama pada masa kejayaan Islam di Baghdad dan Andalusia, dan dinasti-dinasti lain yang tumbuh seiring dengan melemahnya kekhalifahan Abbasiyah.
Pendidikan Islam pada masa Rasulullah saw. dan Khulafa Rasyidun, bahkan sampai akhir masa dinasti Umayyah, pendidikan Islam masih menyatu dengan dakwah Islam, belum ada pemisahan yang subtantif antar keduanya, kesemuanya berfokus pada pembebasan umat manusia dari pola kehidupan Jahiliyah menuju pola hidup yang tercerahkan.[4]
Menurut Syalaby, pendidikan Islam pada masa awalnya diselenggarakan di beberapa tempat yang berbeda-beda, seperti di rumah-rumah para ulama, di toko-toko buku, di masjid-masjid, dan lain-lain (seperti Baitul Hikmah masa Abbasiyah, Darul Hikmah Mesir, Kuttab (lembaga pendidikan dasar), perpustakaan (riset), Ruwaq, zawiyah (latihan spiritual di masjid, Ribath (semacam zawiyah namun lebih khusus aliran tertentu – tarekat – semacam pesantren), Baidiyah (sanggar pengajaran sastra, terutama sastra Arab kuno), Saloon (sanggar seni), Majlis (semacam seminari-seminari, ulama melakukan diskusi spesialisasi, seperti majlis li al-hadis, majlis li al-tarikh), Bimaristan (teaching hospital, uji coba praktik kedokteran), Observatorium), dengan bidang studi yang berbeda-beda juga, tetapi yang paling dasar adalah belajar membaca al-Qur'an, menulis dan pengetahuan dasar tentang agama dan akhlak Islam,[5] sampai pada tahun 459/1067, merupakan awal penyelenggaraan pendidikan Islam di tempat khusus, yaitu Madrasah Nidhomiyah[6], yang mempunyai ciri-ciri di samping tempat belajar yang terbagi menjadi kelas-kelas, ada guru-guru khusus yang bertugas, ada kurikulum yang ditetapkan, ada batasan waktu yang harus ditempuh. Salah seorang guru yang pernah mengajar di madrasah Nidhomiyah tersebut adalah Imam Abu Hamid Al-Ghozali.[7] kemudian setelah itu dibuka madrasah-madrasah lain di beberapa kota bahkan ke desa-desa.[8]
Pemetaan kekuasaan Politik Majapahit
Dari model pendidikan Islam yang ada di negara-negara yang berpenduduk Muslim, terlihat bahwa pendidikan Islam dalam proses dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, ekonomi, dan kondisi sosial-budaya suatu negara dimana Muslim berada. Hal yang sedemikian itu dialami pula pada masa kerajaan Majapahit.
Majapahit disebut-sebut sebagai sebuah kerajaan besar, menguasai seluruh wilayah yang sekarang bernama Indonesia, bahkan kekuasaannya sampai ke beberapa wilayah manca; Semenanjung Tanah Melayu, Singapura, Brunei.
Tercatat dalam Nagarakretagama, Pararaton dan berita dari Cina zaman dinasti Ming bahwa, sejak tahun 1331, wilayah Majapahit diperluas berkat penundukan Sadeng, di tepi Sungai Badadung dan Keta di pantai utara, dekat Panarukan, seperti diberitakan dalam Nagarakretagama pupuh 48/2, 49/3 dan dalam Pararaton. Pada waktu itu, wilayah kerajaan meliputi seluruh Jawa Timur dan Pulau Madura.[9]
Baru setelah seluruh Jawa Timur dikuasai penuh, Majapahit mulai menjangkau pulau-pulau di luar Jawa, yang disebut Nusantara. Menurut Pararaton, politik perluasan wilayah ke Nusantara bertalian dengan program politik Gadjah Mada yang diangkat sebagai patih amangkubumi pada tahun 1334. Untuk mensukseskan program politik itu, pembesar-pembesar Majapahit yang tidak menyetujui, disingkirkanoleh Gadjah Mada.[10] Program politik tersebut baru dijalankan secara efektif mulai tahun 1343 dengan penundukan Bali, pulau yang paling dekat dengan Jawa.
Penundukan Suwarnabhumi terjadi sekitar tahun 1350; keruntuhannya mengakibatkan daerah-daerah bawahannya di Sumatra dan di Semenanjung Tanah Melayu jatuh ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Dua belas negara bawahan Suwarnabhumi: 1. Pahang; 2. Trengganu; 3. Langkasuka; 4. Kelantan; 5. Woloan; 6. Cerating; 7. Paka; 8. Tembeling; 9. Grahi; 10. Palembang; 11. Muara Kampe; 12. Lamuri, hampir sernuanya disebut dalam daftar daerah-daerah bawahan Majapahit dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14. Daftar itu menyebut juga nama-nama daerah bawahan lainnya.[11] Rupanya, Palembang dijadikan batu loncatan bagi tentara Majapahit untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di sebelah barat Pulau Jawa.
Daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai Majapahit pada pertengahan abad 14 seperti diberitakan oleh Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 itu, seperti berikut:
Di Sumatra: Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, Lampung.
Di Kalimantan (Tanjung Pura): Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano.
Di Semenanjung Tanah Melayu (Hujung Medini): Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai.[12]
Sebelah timur Jawa: Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali: Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon atau Maluku, Wanin, Seran, Timor.[13]
Dengan wilayah yang seluas itu, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, dan dengan negeri manca diatur sedemikian rupa.
Di Jawa, ada sebelas negara bawahan, masing-masing diperintah oleh raja, dan lima daerah atau provinsi yang disebut mancanegara, masing-masing diperintah juru pangalasan atau dipati, yakni 1. Daha, diperintah oleh Bhre Daha alias Dyah Wiyat Sri Rajadewi; 2. Wengker, diperintah oleh Raja Wijayarajasa; 3. Matahun, diperintah oleh Raja Rajasawardhana; 4. Lasem, diperintah oleh Bhre Lasem; 5. Pajang, diperintah oleh Bhre Pajang; 6. Paguhan, diperintah oleh Raja Singawardhana; 7. Kahuripan, diperintah oleh Tribhawana Tanggadewi; 8. Singasari diperintah o1eh Raja Kertawardhana; 9. Mataram, diperintah oleh Bhre Mataram alias Wikramawardhana; 10. Wirabhumi, diperintah oleh Bhre Wirabhumi; 11. Pawanuhan, diperintah oleh puteri Surawardhani. Semua yang memegang kuasa di negara bawahan adalah keluarga raja Majapahit.
Lima provinsi yang disebut mancanagara disebut menurut kiblat, yakni utara, timur, selatah, barat, dan pusat, masing-masing diperintah oleh juru pangalasan yang bergelar rakryan. Baik negara bawahan maupun daerah, mengambil pola pemerintahan pusat. Raja dan juru pangalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab, namun pemerintahannya dikuasakan kepada patih; sama dengan pemerintahan pusat, di mana raja Majapahit adalah orang yang bertanggung jawab, tetapi pemerintahannya ada di tangan patih amangkubumi atau patih seluruh negara. Nagarakretagama pupuh 10 menuturkan, jika Para patih datang ke Majapahit, mereka mengunjungi gedung kepatihan amangkubumi yang dipimpin oleh Gadjah Mada. Administrasi pemerintahan Majapahit dikuasakan kepada lima pembesar yang disebut sangpanca ri Wilwatikta, yakni patih seluruh negara, demung, kanuruhan, rangga, dan tumenggung.
Mereka itulah yang banyak, dikunjungi oleh para pembesar negara bawahan dan daerah untuk urusan pernerintahan. Apa yang direncanakan di pusat, dilaksanakan di daerah oleh para pembesar tersebut.
Dari patih perintah turun ke wedana, semacam pembesar distrik; dari wedana turun ke akuwu, pembesar sekelompok desa, semacam lurah zaman sekarang; dari akuwu turun ke buyut pembesar desa; dari buyut turun kepada penghuni desa. Demikianlah tingkat organisasi pernerintahan di Majapahit dari pucuk pimpinan negara Sampai rakyat pedesaan. Apa yang berlaku di Jawa diterapkan di Pulau Bali dengan patuh.
Tidak demikian halnya dengan pemerintahan di daerah seberang lautan. Pemerintahan daerah seberang lautan tidak-mengalami perubahan apapun setelah menjadi daerah bawahan Majapahit. Dalam urusan negara, raja-raja atau pembesar daerah bawahan di seberang lautan berdaulat penuh. Kewajiban utama daerah bawahan terhadap pusat ialah menyerahkan upeti tahunan dan menghadap raja Majapahit pada waktu-waktu yang ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan kekuasaan Majapahit. Pemerintah pusat tidak mencampuri urusan daerah. Nagarakretagama pupuh 16/5 menegaskan bahwa Majapahit memelihara angkatan laut yang sangat besar untuk melindungi daerah-daerah bawahan dan menghukum pembesar daerah yang membangkang terhadap pusat pemerintahan.
Dengan demikian kerajaan-kerajaan Islam di luar pulau Jawa yang telah eksis, seperti Samudra Pasai, kerajaan Melayu, tetap mengembangkan keislamannya, hingga pada masanya kelak, Islam mengambil peran yang sangat signifikan dalam melangsungkan kontinum sosial, budaya, ketika pemerintahan pusat melemah
Nagarakertagama pupuh 15/1 mencatat nama beberapa negara tetangga yang konon mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit, seperti Syangka, Ayudhapura, Dharmaanagari, Marutama, Rajapura, Campa, Kamboja, dan Yawana. Daftar nama itu hampir serupa dengan nama-nama yang disebut dalam pupuh 83/4 tentang tamu-tamu asing yang sering berkunjung ke Majapahit, terutama Para pedagang dan para pendeta. Banyak di antara para pendeta asing yang menetap di Majapahit berkat pelayanan yang baik. Mereka itu adalah penyebar kebudayaan India. Berkat usaha pendeta asing, Hinduisme di Majapahit bertambah kuat. Mungkin sekali hubungan persahabatan itu terutama didasarkan atas kunjungan para pedagang dan pendeta, bukan karena adanya perwakilan asing timbal-balik di negara-negara yang bersangkutan seperti pada zaman sekarang. Tali persahabatan itu dimaksudkan sebagai usaha untuk menghindarkan serbuan tentara asing di daerah bawahan Majapahit di seberang lautan, terutama di Semenanjung Tanah Melayu, karena negara-negara tetangga itu kebanyakan berbatasan atau berdekatan dengan daerah bawahan tersebut. Lagi pula sebagian besar negara-negara tetangga itu menganut agama Hindu/Budha seperti Majapahit.
Hubungan antara Syangka (Sri Langka) dan Majapahit mungkin telah dimulai sejak pemerintahan Jayanagara (1309-1328), karena dalam piagam Sidateka, 1323, Raja Jayanagara menggunakan nama abhiseka Sri Sundarapandya Adiswara, sedangkan unsur Pandya mengingatkan dinasti Pandya di Sri Langka. Nama Sri Langka sudah dikenal pada abad 13 sebagai negara bawahan Sriwijaya. Mungkin sekali persahabatan antara Sri Langka dan Majapahit terutama akibat kunjungan pendeta-pendeta Budha dari Sri Langka ke Majapahit.
Hubungan antara Ayudhya[14] dan Majapahit bertarikh di sekitar tahun 1350, setelah Ramadhipati berhasil menyerbu Sukhothai dan menawan Raja Lu Thai pada tahun 1349, kemudian mendirikan kerajaan Dwarawati. Negara baru Dwarawati yang berpusat di Ayudhya, banyak dipengaruhi oleh negara tetangganya, yang bercorak Hindu. Dari Khmer di sebelah timurnya, negara Dwarawati mengambil pola pernerintahan, kebudayaan, kesenian, dan sistem tulisan. Dari bangsa Mon dan Burma di sebelah baratnya, negara Dwarawati mengambil pola perundang-undangan yang bersumber pada perundang-undangan India, sedangkan dari Sri Langka, negara Dwarawati mengambil agama Budha.
Dharmanagari di pantai timur Semenanjung Tanah Melayu, di bagian selatan Siam, terkenal sebagai Ligor atau Nakhon Sithammarat, adalah kerajaan lama, yang dikenal sejak abad 8 seperti tercatat pada piagam Ligor. Pada waktu itu, menjadi negara bawahan Sriwijaya. Pada tahun, 1350, ketika Ramadhipati mendirikan kerajaan Dwarawati yang berpusat di Ayudhya, Dharmanagari masih tetap berdiri sebagai negara merdeka dan mengadakan hubungan persahabatan dengan Majapahit. Bahkan, ketika Rama Khamheng dari Sukhothai pada akhir abad 13 menegakkan kekuasaannya di wilayah Indo-Cina, Darmanagari tetap bertahan karena pada abad 14, seluruh Semenanjung Melayu dari Tumasik sampai Semang adalah daerah bawahan Majapahit, sedangkan daerah sebelah baratnya dikuasai oleh Ayudhya maka Dharmanagari hanya merupakan kerajaan kecil, terjepit antara Ayudhya dan daerah bawahan Majapahit.
Marutma, biasa disamakan dengan Martaban,[15] terletak di delta Sungai Saluen, adalah kerajaan Mon. Sejak timbulnya kerajaan Burma dan Sukhotai pada abad 13, kerajaan Mon ini menjadi rebutan antara bangsa Burma dan bangsa Thai. Pada tahun 1201, kerajaan Mon berhasil dikuasai oleh Waeru dari suku Thai dengan bantuan Tarabaya, yang mengakibatkan kematian kedua belah pihak. Martaban pada tahun 1318 jatuh dalam kekuasaan bangsa Thai di bawah pernerintahan Lai Thai, putera Rama Khamheng; diperintah bangsa Thai sampai tahun 1347, ketika bangsa Mon berhasil menggulingkan kekuasaan Lai Thai dan membebaskan negaranya dari kekuasaan bangsa Thai. Demikianlah pada pertengahan abad 14, kerajaan Mon di Martaban adalah negara merdeka dan menjadi tetangga daerah bawahan Majapahit di Semenanjung Melayu.
Kerajaan Campa dengan ibu kota Wijaya (Caban) di dekat Kota Binhdinh, terletak di pantai timur Vietnam, adalah kerajaan lama, yang telah dikenal sejak permulaan abad Masehi., Campa mengadakan hubungan persahabatan dengan Jawa sejak zaman pernerintahan Raja Kertanagara, yang memerintah Singasari dari tahun 1270 sampai 1292. Konon, puteri Tapasi dari Singasari kawin dengan Raja Jaya Singawarman III dari Campa.[16]
Berkat perkawinan itu, Raja Jaya Singawarman melarang tentara Tartar, yang berlayar ke Jawa pada akhir tahun 1292, untuk menghukum Raja Kertanagara, mendarat di pantai Campa.
Pada tahun 1314, Campa diperintah oleh Tran-Minh-tong, juga dikenal sebagai Che Nang dalam Sajarah Vietnam. Setelah gagal usahanya untuk merebut kembali daerah bagian utara dari kekuasaan bangsa Vietnam, ia diusir dari negaranya. Konon, Che Nang mengungsi ke Jawa pada tahun 1318. Pada waktu itu, Jayanagara yang memerintah kerajaan Majapahit.
Menurut Nagarakretagama, pada tahun 1365, kerajaan Campa mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit. Pada waktu itu, Campa diperintah oleh Che Bong Nga, orang besar di Campa berkat kejayaannya dalam peperangannya melawan Dai Viet dari tahun 1361 sampai 1390. Masa pernerintahannya bertepatan dengan masa pernerintahan Dyah Hayam Wuruk di Majapahit, yakni dari tahun 1351 sampai 1389. Baik jalannya sejarah maupun masa keruntuhannya, kerajaan Campa hampir mirip dengan kerajaan Majapahit. Che bong Nga digantikan oleh Ngaut Klaung Wijaya yang memerintah Campa dari tahun 1400 sampai 1441 dan mengambil nama abhiseka Indrawarman pada tahun 1422. la berjaya menyelamatkan negaranya dari ancaman Dai Viet, namun sepeninggalnya, timbullah perang saudara. Dalam masa tiga puluh tahun semenjak matinya Indrawarman, Campa diperintah oleh lima orang raja dari pelbagai dinasti, ganti berganti melalui peperangan, yang melemahkan kedudukan negara, sehingga ketika pada tahun 1471 diserang oleh bangsa Vietnam, kerajaan Campa runtuh dan sejak itu diduduki oleh bangsa Vietnam, dan tidak pernah bangun lagi.
Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi memberitakan bahwa pada permulaan abad 15, Raja Brawijaya dari Majapahit kawin dengah puteri Campa, seorang Muslim, yang juga bergelar puteri Dwarawati. Karena puteri Campa itu meninggal pada tahun 1448 seperti tercatat pada batu nisannya di Trawulan[17] maka ia meninggalkan Campa kira-kira pada zaman pernerintahan Indrawarman. Tetapi, tak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya agama Islam di Campa sebelum tahun 1471, sehingga berita tentang puteri Campa di atas tidak cocok dengan epigrafi Campa, sehingga merupakan persoalan yang tidak gampang pemecahannya.
Sebaliknya, pengumuman Kaisar T’ai-tsu, pada tahun 1370, yang mendirikan dinasti Ming sejak jatuhnya dinasti Yuan pada tahun 1368, jelas menyatakan bahwa pada tahun 1370 Campa mengadakan hubungan persahabatan dengan Cina. Hubungan persahabatan meningkat pada permulaan abad 15 dalam pemerintahan Kaisar Yung-lo berkat aktivitas duta keliling Cheng Ho. Campa merupakan pelabuhan penting dan dijadikan pangkalan untuk melancarkan aktivitas Cheng Ho ke daerah-daerah di Asia Tenggara. Kiranya persoalan puteri Campa perlu dihubungkan dengan aktivitas duta keliling Cheng Ho, yang jelas seorang pemeluk agama Islam.
Mengenai hubungan antara Majapahit di satu pihak dan Kamboja sertai Dai Viet (Yawana) di lain pihak, seperti dinyatakan dalam Nagarakreagama pupuh 15, tidak ada beritanya, baik dalam karya-karya sejarah maupun dalam epigrafi.
Masa kerajaan Majapahit (1923 – 1478[18]) dalam konfigurasi kekhalifahan besar di dunia Islam adalah sezaman atau berada pada masa kekhalifaan Islam di Andalusia (711 – 1492), Mamalik di Mesir (1250 – 1517), Safawi di Iran (1252 – 1736), Moghul di India (1482 – 1858), dan Usmani di Turki (1290 – 1924). Sementara itu kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Nusantra dan sezaman dengan masa Majapahit adalah Samudra Pasai (1207 – 1524[19]), . Hal tersebut penting dikemukakan, karena erat kaitannya dengan aspek dan variabel masuknya Islam ke Majapahit (Jawa) dan pola pendidikan Islam yang akan dibahas nanti. Karena disinyalir komunitas Islam telah berada di dalam lingkar kekuasaan kerajaan Majapahit pada akhir abad 13, ditandai dengan banyaknya makam Islam di Tralaya (sebelah selatan bekas istana Majapahit) nisan tertua bertahun 1376 dan nisan termuda 1611.[20]
Namun dari sangat sedikit sekali ilmuwan atau sumber-sumber lain yang membicarakan secara khusus pendidikan Islam pada masa Majapahit. Bagaimana pendidikan tersebut memproduk kader ulama dan kader politisi dalam menjaga keberlangsungan Islam dan merubah karakter kawula Majapahit dari Hindu-Budha dan memberi nilai Islam.
Mengingat masa akhir kerajaan Majapahit merupakan titik balik dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang tergabung dalam satu hegemoni panji Majapahit menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri-sendiri, demikian pula masa akhir kerajaan Majapahit merupan titik balik dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang banyak bercorak Hindu-Budha menjadi kerajaan-kerajaan bercorak Islam.
Mencurigai Syekh Jumadil Kubro sebagai Ulama Peletak Islamisasi Majapahit
Membincangkan sosok Syekh Jumadil kubro tidak lepas dari perdebatan panjang dalam menemukan sejarah utuh tentang asal usulnya. Darimanakah ia? Bagaimanakah kehidupannya? Dan dimanakah ia bersemayam diakhir hidupnya?
Adalah menarik sebuah sarasehan dalam peringatan haul ke 632 Syekh Jumadil Kubro yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Mojokerto. Dari sejumlah pakar, baik dari ahli arkeologi, sejarawan maupun dari kalangan ulama yang diundang ada benang merah dalam menyepakati sosok Syekh Jumadil Kubro. Syekh Jumadil Kubro adalah tokoh nyata dan benar adanya dan bukan tokoh fiktif. Namun bagaimana meninggalnya dan dimana syekh Jumadil Kubro dimakamkan, masih diperdebatkan.
Ada anggapan bahwa makam tujuh yang nisannya bertuliskan arab di Tralaya salah satunya adalah Syek Jumadil Kubro. Namun anggapan tersebut terbantahkan tatkala merujuk penelitian S.T. Damais seorang arkeolog Belanda. Dari penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa tujuh makam di Tralaya yang bertuliskan Arab tersebut adalah seorang muslim. Namun tidak ada satu nisanpun yang bertuliskan nama seseorang.[21] Artinya tidak ada bukti kongkret bahwa salah satu makam tujuh tersebut adalah Syekh Jumadil Kubro. Tapi, yang sangat menarik justru adalah posisi makam muslim yang ditempatkan dalam makam kerajaan Majapahit. Padahal tralaya, menurut bahasa kawi berasal dari kata Ksetralaya (lapangan mayat), merupakan makam khusus untuk penguburan kerabat raja, atau orang-orang dalam istana. Menurut Agus Sunyoto makam tralaya merupakan makam khusus penganut aliran Yoga-tantra.[22] Aliran Yoga-tantra merupakan sekte dari Hindu yang banyak diikuti oleh kerabat Istana. Baik Damais dan Sunyoto sepakat menyatakan bahwa ketujuh makam muslim tersebut adalah kerabat raja, atau orang yang sudah mendapat kehormatan dari raja.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makam Syekh Jumadil Kubro yang diyakini oleh masyarakat ada di Tralaya seperti sekarang ini, tidak memiliki dasar otentik. Tidak ada satupun bukti bahwa makam tralaya terdapat nama Syekh Jumadil Kubro. Karena jika kita menelaah lagi, makam Syekh Jumadil Kubro terdapat diberbagai tempat. Ada yang meyakini Syekh Jumadil Kubro dimakamkan di Gresik, ada pula yang meyakini di Mantingan, dan ada pula yang meyakini makamnya di desa Turgu, Gunung Kawastu Yogyakarta, ada pula yang meyakini di Bugis. Bahkan ada yang meyakini di Madinah. Semuanya mengklaim kebenaran masing-masing.
Tetapi ada satu hal yang banyak disepakati oleh para ilmuwan bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah ulama awal pra-Wali songo bahkan menurut Babad Cirebon merupakan buyut dari semua wali songo.[23] Oleh karenanya sangatlah tepat jika kita meletakkan Syekh Jumadil Kubro-lah peletak dakwah Islamisasi di jagat Nusantara ini. Syekh Jumadil Kubro-lah peletak model pendidikan Islam sebagai transformasi nilai kepada masyarakat jawa khususnya Majapahit.
Dengan kesepakatan demikian penulis menyimpulkan bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah tokoh Islam awal Masa Majapahit.[24] Karena dari catatan Van Bruinessen menceritakan ada cerita dari mulut ke mulut di desa-desa yang terletak di lereng Gunung Merapi, sebelah utara Yogyakarta, Syekh Jumadil Kubro dipercaya sebagai wali Muslim Jawa yang paling tua, yang berasal dari Majapahit dan hidup sebagai pertapa di hutan gunung tersebut.[25] Begitupun dengan beberapa catatan-catatan dari Gresik menceritakan bahwa Syekh Jumadil kubro merupakan pembimbing para wali. Diceritakan Raden Rahmat yang kemudian menjadi sunan Ampel, lahir dari perkawinan seorang ulama Arab dengan putri Campa, pertama-tama datang ke Palembang dan dari sana meneruskan perjalanan ke Majapahit. Dia mendarat di Gresik, di mana dia menunjungi Syaikh Molana Jumadil Kubro, seorang abid yang menetap di Gunung Jali.[26] Bukti lain, di dalam serat Kandha, ada disebutkan keberadaan empat tokoh suci umat Islam di jaman kuno, yaitu Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Dhomas, Dada Pethak di Gunung Bromo dan Maulana Ishak di Blambangan. Sementara menurut cerita tutur dikalangan pengikut Syaikh Siti Jenar, Syekh Jumadil Kubro adalah teman baik Syekh Siti Jenar saat membawa tawar tanah-tanah angker bekas pemujaan aliran Yoga-tantra yang terkenal dengan kesaktiannya.[27] Dari beberapa bukti tersebut meskipun berbeda versi, membuktikan peran besar dan eksistensi Syekh Jumadil Kubro dalam menyumbangkan Islamisasi ditanah jawa.
Model pendidikan Islam Majapahit
Tidak ada bukti-bukti jelas untuk menggambarkan pendidikan Islam di Majapahit. Beberapa ilmuwan meyakini bahwa cikal bakal penelitian di Jawa adalah pesantren.[28] Namun terdapat perbedaan dalam mengidentifikasi kapan pesantren awal itu didirikan. Dalam Babad Tanah Djawi, dijelaskan bahwa di Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu atau ngaos pemuda Islam. Zamarkasyi Dofier mengidentifikasi pesantren mulai berkembang pada abad ke-15.[29] Dofier mengidentifikasi bahwa manuskrip-manuskrip keIslaman kebanyakan ditulis dengan tulisan dari bahasa Jawa, baik yang isinya merupakan terjemahan karya asli dari bahasa Arab, maupun karya ulasan.[30] Berbeda dengan Manfred, ia meyakini bahwa pesantren telah ada pada pertengahan abad ke-9. Ia mendasarkan bentuk Asrama yang mirip dengan pendidikan Budha. Namun ia tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana pesantren yang kemudian menjadi label khusus untuk orang yang menekuni agama Islam itu berdiri.
Dari pemaparan tersebut dapat diidentifikasi bahwa kehadiran Pesantren lebih akhir dari kehidupan Syekh Jumadil Kubro. Artinya masa Syekh Jumadil Kubro dalam kehidupan di Majapahit belum ada istilah pesantren. Belum ada bangunan pesantren sebagai tempat belajar agama Islam. Jadi pendidikan Islam di Masa Majaphit, bukan dalam bentuk pesantren. Kemungkinan besar pendidikan Islam dalam bentuk yang sangat sederhana.
Penulis lebih meyakini bahwa pengajaran Islam dilakukan di masjid-masjid. Karena masjid merupakan tempat vital dikalangan umat Islam. Dimanapun ada komunitas Islam pasti akan berdiri sebuah bangunan Masjid. Apalagi jika telah terbentuk komunitas baru, pasti pendirian Masjid merupakan keharusan, selain sebagai tempat beribadah ia juga merupakan simbol akan keberadaan umat Islam. Hal yang sama jika mengamati keberadaan komunitas muslim di pusat Kerajaan Majapahit dengan terdapatnya makam Muslim di Tralaya, bukannya tidak mungkin bahwa di pusat Majapahit telah dibangun Masjid.[31]
Hal ini dikuatkan oleh Kidung sunda, teks jawa dari abad pertengahan menyebut istilah Masigit Agung, mirip istilah Masjid Agung. Kata masigit agung disebutkan berkaitan dengan keberangkatan rombongan Raja Sunda yang mengantar anak perempuannya untuk dipersunting oleh Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Sesampai di bubat, dekat surabaya, Raja Sunda tidak menjumpai sambutan kerajaan sebagaimana diharapkan. Kemudian raja sunda mengirim patihnya ke Majapahit untuk menemui Gajah Mada. Dalam perjalanan Patih ke Majapahit, ia pertama kali tiba di Masigit Agung.[32]
Dengan demikian, proses Islamisasi atau proses pengajaran Islam di Masa Majapahit kemungkinan besar banyak dilakukan lewat Masjid. Jika sebuah pendidikan atau pengajaran dilakukan di Masjid bentuk dari pengajarannya biasanya menggunankan bentuk halaqah-halaqah.[33] Halaqah-halaqah - bentuk lingkaran, mirip orang berdiskusi dengan guru ditengah-tengah- sudah dilakukan di masa-masa awal perkembangan Islam.[34] Sejak masa Nabi, Masjid berfungsi sebagai tempat sosialisasi, tempat ibadah, tempat pengadilan dan lain sebagainya. Tetapi yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan.
Dan yang kedua, kemungkinan besar pendidikan Islam di Masa Majapahit dilakukan pula lewat rumah-rumah ulama. Karena jika kita melihat sistem pendidikan awal Islam juga banyak dilakukan di rumah-rumah sebelum terbentuknya Masjid. Ketika masih di Mekkah, Rasulullah menggunakan rumah al-Arqam sebagai tempat memberikan pelajaran bagi kaum muslimin. Di rumah-rumah ulama ini pulalah masa-masa penyebaran Islam, digunakan secara efektif untuk transformasi ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas.[35]
Dengan demikian bisa dipastikan bahwa pendidikan masa Majapahit tidak jauh dari logika penyebaran masa awal Islam. Rumah ulama dan Masjid sebagai lembaga pendidikan pada tingkat sederhana menjadi sarana efektif pendidikan Islam kepada masyarakat Jawa sebelum terbentuknya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang lebih sempurna.
Adapun pelajaran yang disampaikan kepada masyarakat, kemungkinan besar masih berkutat pada ilmu agama yang mendasar. Hal ini didasarkan pendapat Raffles, meskipun secara general jawa telah ter-Islam-kan namun sedikit sekali kelompok-kelompok masyarakat yang betul-betul mengerti dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Raffles menegasakan bahwa hanya beberapa orang saja yang sebenarnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan perilakunya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sementara mereka percaya kepada Allah yang Maha Kuasa dan Nabi Muhammad sebagai utusannya dan mengerjakan beberapa perintah-perintah ibadah, tetapi mereka sebenarnya masih sedikit sekali mengetahui doktrin-doktrin Islam.[36]
Meletakkan Pendidikan berbasis Hati
Jika kita melihat konversi besar-besaran penduduk Jawa kepada Islam, kita syah untuk mencurigai kehebatan dan kelihaian mubalig-mubalig (baca: Syekh Jumadil Kubro) di dalam mengatur dakwah Islamnya. Bagaimana tidak, kekuatan Hindu-Majapahit yang begitu kokoh dengan didukung nama besar kerajaannya mampu “ditaklukan” dalam cengkraman aqidah Islam. Kenapa?
Agus Sunyoto dalam analisanya menyatakan bahwa Hindu dan Budha yang berkembang di Majapahit ternyata hanya banyak dianut oleh keluarga kerajaan. Sedangkan arus grass root tetap melestarikan keyakinan mereka yakni ajaran Kapitayan. Di dalam ajaran kapitayan ada kemiripan-kemiripan dengan ajaran Islam. Dan disinilah kearifan yang ditunjukkan ulama terdahulu. Mereka tidak memaksakan konsep Islam secara utuh, namun mereka dengan bijak ngemong kepada masyarakat dengan tetap membiarkan alur term-term yang sudah membudaya dan menjadi makanan sehari-hari mereka. Istilah-istilah agama setempat yang masih menganut agama kapitayan, tidak dibuang begitu saja. Tetapi tetap dipakai untuk menyamakan dengan istilah ajaran Islam. Misalnya dalam melakukan pemujaan kepada Allah tidak menyebutkan sholat tetapi memakai istilah sembahyang. Begitupun dengan istilah tempat pemujaan, orang jawa menamakan tempat pemujaan kepada dewa disebut sanggar, namun oleh ulama diganti menjadi langgar. Istilah surga dikenalkan kepada masyarakat menggantikan istilah jannah. Istilah nar digantikan dengan istilah neraka.[37] Dan lain sebagainya. Sehingga, masyarakat awam dapat begitu mudah menerima ajaran Islam yang tidak jauh berbeda dengan istilah-istilah agama yang lama
Lebih dari itu, penulis berkeyakinan bahwa kedalaman spiritual dan akhlakul karimah dari sang mubalig juga merupakan hal yang menarik perhatian masyarakat grass root. Kepedulian, saling menyantuni, kesabaran, dan tata krama indah lainnya yang dianjurkan Islam menjadi tempat tersendiri dalam hati masyarakat yang konon menurut Agus Sunyoto orang Majapahit tidak mengenal demikian. Orang Majapahit, menurut Agus Sunyoto, berperingai kasar, sombong dan tidak mengenal kalah. Prinsipnya menang atau mati. Namun anasir-anasir kebrutalan prilaku tersebut lambat laun dihapuskan dengan kehadiran Islam. Penulis meyakini dengan bahasa hati-lah orang jawa mampu menerima Islam dan berIslam dengan sungguh meskipun dalam taraf yang masih sederhana. Dan sejarah telah mencatat kesuksesan gemilang Islamisasi Nusantara begitu cepat dan menyebar luas sehingga negara yang kita huni ini berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Membaca hal tersebut, sekirannya kita semuanya sadar, di dalam mendidik masyarakat tidak bisa dengan menggunakan bahasa kekerasan untuk mematuhi aturan agama. Atau dengan bahasa kekuasaan. Karena jika kita mendidik masyarakat dengan bahasa kekerasan atas nama agama atau bentuk-bentuk kekuasaan maka yang akan muncul selalu bentuk resistensi. Namun jika kita semuanya menggunakan sentuhan-sentuhan hati atau dalam bahasa lain gerakan cultural, maka masyarakat kita akan mudah menerima. Karena bahasa hati adalah bahasa fitrah. Bahasa hati adalah bahasa kesadaran universal yang diidealkan oleh semua manusia. Bahasa hati adalah bahasa revolusi kesadaran berakhlak dan bertauhid. Mudah-mudahan kita semuanya mampu membaca itu semuanya. Semoga !!!!!!
[1] Mengenai perbedaan antara wahyu yang matluw dengan wahyu yang ghairu matluw lebih lanjut baca, Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul al-Hadis bab makanatu as-sunnah fi al-Tasyri’. Libanon: Dar al-Fikr, Beirut.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, h. 6. sementara Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu klasik, pertengahan, dan modern dengan perincian dapat dibagi menjadi 5 masa, yaitu: 1) Masa hidupnya Nabi Muhammad saw. (571-632 M). 2) Masa hidupnya Khulafa ar-Rasyidin (632-661 M). 3) Masa hidupnya Daulah Umayyah di Damsyik (661-750 M). 4) Masa hidupnya Daulah Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M). 5) Jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (tahun 1250 M sampai dengan sekarang). (Harun Nasution, Pembaharuan Terhadap Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 11)
[3] Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press, 2006, h. ix
[4] Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press, 2006, h. 55
[5] Ahmad Syalaby, Tarikh at-Tarbiyah al-Islamiyah, hal. 43, 116-118. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, II, hal. 49-50
[6] Nama tersebut dinisbahkan kepada pendiriya, Perdana Menteri daulat Bani Saljuq, Nidhomu al-Mulk, Dalam penelitian-penelitian lain menemukan bukti,bahwa madrasah yang pertama didirikan bukanlah madrasah Nidhomiyah di Baghdad, tetapi jauh sebelum tahun 459 H. di Nisabur telah berdiri madrasah Al-Baihaqiyah, dan pendirinya adalah Abul Hasan 'Ali Al-Baihaqy (w. 414 H) (Al-Maqrizy, Al-Mawaidh wa al-I’tibar, h. 380), Pendapat tersebut juga didukung oleh penulis-penulis lain, seperti Naji Ma'ruf dalam bukunya "Madaris Makah" yang mengungkapkan, bahwa selama 2 abad sebelum madrasah Nidhomiyah di Baghdad berdiri, sudah ada madrasah di Transoksania dan Khurasan. Sebagai bukti, ia mengemukakan data dari Tarikh al-Bukhari yang menjelaskan, bahwa Ismail bin As'ad (w. 295 H) mempunyai madrasah yang dikunjungi oleh para siswa untuk melanjutkan pelajaran mereka. Dari hasil penelitian Richard W. Bulliet di tulis dalam The Patricians of Nisapur (Cambridge : Mass Havard. University Press, 1972) mengungkapkan, bahwa di Nisabur terdapat sebanyak 39 madrasah, pada 2 abad sebelum berdirinya madrasah Nidhomiyah di Baghdad, dan madrasah yang tertua adalah Miyan Dahiya yang mengkhususkan pengajaran fiqih madzhab Maliki. Pada umumnya madrasah-madrasah tersebut mengajarkan satu madzhab fiqih saja dan sebagian besar madzhab Syafi'i. Rinciannya, dari 39 madrasah tersebut hanya satu madrasah yang mengajarkan fiqih Maliki, empat madrasah mengajarkan fiqih Hanafi, dan yang lain mengajarkan fiqih Syafi’i. (Depag R1, Sejarah Madrasah, Jakarta: Depag RI, 2004, h. 37).
[7] Ahmad Syalaby, Tarikh at-Tarbiyah al-Islamiyah, hal. 43, 116-118. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, II, hal. 49-50.
[8] Pemakaian istilah madrasah secara definitif baru muncul pada abad ke- 11. universitas pada jenjang tertentu dalam pendidikan disebut juga madrasah. Penjelasan istilah madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah. Ada beberapa teori yang berkembang seputar proses transformasi tersebut antara lain George Makdis (1981) menjelaskan bahwa madrasah merupakan transformasi insitusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara fidak langsung melalui tiga tahap: Pertama, tahap masjid. Kedua, tahap masjid-khan; dan Ketiga, tahap madrasah. (Ahmad Ibrahim Syarif, Daulat al-Rasul Fi al-Madinat, Quwait: Dar al-Bayan, 1972, h. 76)
[9] Piagam Camunda, 1332, menguraikan bahwa Tribhuwanatunggadewi menguasai seluruh dwipantara. Istilah dwipantara ini kiranya harus ditafsirkan sebagai hyperbol, karena pada waktu itu kekuasaan Majapahit hanya terbatas sampai Pulau jawa dan Madura saja, tidak sama dengan istilah Nusantara dalam program politik Gajah Mada pada tahun 1334.
[10] Pada waktu itu para menteri sedang lengkap duduk menghadap di balai penghadapan. Kembar memperolok olok Gajah Mada dengan menyebut kesalahan kesalahan dan kekurangan-kekurangannya, dan menumpahkan telempak, Ra banyak ikut serta menambah mengemukakan celaan-celaan. Jabung Terewes, Lembu Peteng tertawa. lalu Gajah Mada turun mengadukan soal itu kehadapan batara di Koripan, baginda marah, kemarahan dan penghinaan ini disampaikan kepada Arya Tadah. Dosa Kembar telah banyak, Warak dilenyapkan, tak dikatakan pada Kembar, mereka mati semua. (Pararaton, IX)
[11] Di daerah-daerah ini tidak ditemukan piagam sebagai bukti adanya kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah, yang ditulis kemudian, menyinggung adanya hubungan antara pelbagai daerah dan Majapahit dalam bentuk dongeng, tidak sebagai catatan sejarah khusus. Dongeng-dongeng itu menunjukkan kekagumannya terhadap keagungan dan kekuasaan Majapahit.
[12] Kesah Raja Marong Mahawangsa, Penerbitan Pustaka Antara, Kuala Lumpur, 1965, h. 79. “Akan Pulau Serai itu pun juga hampirlah sangat bertemu dengan tanah daratan besar; maka akhimya itulah yang disebut oleh Gunong Jerai karena ia tersangat tinggi”. Lihat juga Paul Wheatley, The Golden Khersonese, h. 261.
[13] Perlu dipahami bahwa pengertian daerah bawahan pada abad 14 berbeda dengan pengertian koloni dalam zaman modern. Persembahan upeti yang tidak banyak nilainya, oleh daerah tertentu kepada Majapahit, sudah dapat dianggap sebagai bukti pengakuan kekuasan Majapahit atas daerah yang bersangkutan dan karenanya daerah itu dianggap sebagai daerah bawahan.
[14] G. Coedies, The Indianized States of Southeast Asia, 1968, h. 222-223.
[15] Ibid h1m. 219.
[16] Ibid h1m. 217.
[17] Dr. J.L.A. Brandes, Pararaton, h. 197.
[18] Ada yang menyebut berakhirnya kerajaan Majapahit pada masa prabu Girindrawardhana (1474-1527), dan memindahkan pusat kerajaan dari Trawulan ke Keling, dan oleh banyak ahli kurang diperhitungkan, karena “pusaka kerajaan” tidak diboyong ke Keling tetapi diboyong ke Demak.
[19] A. Hasyimi dalam Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1980, h.19)
[20] Louis-Charles Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara,
[21] Di sana terdapat 44 nisan kuno dari 36 makam. Tidak ada goresan yang menyebutkan nama di nisan. Tulisan Arab yang memenuhi batu nisan di sana lebih banyak melantunkan dakwah, misalnya kutipan Surat Ar-Rahman Ayat 26-27. Lainnya adalah bacaan doa dan kalimat thayibah, kalimat tauhid, kutipan ayat-ayat Al Quran, doa permohonan ampun dan pengagungan Tuhan dengan tanda-tanda sufistik. Lebih jauh bisa dilihat pada gambar dibelakang tulisan ini tentang nisan-nisan yang diteliti oleh Damais.
[22] Agus Sunyoto, Mengkaji dan Merefleksikan Dakwah Syekh Jumadil Kubro, ( Mojokerto: Makalah pada Sarasehan Dinas Pariwisata Kab. Mojokerto, 2008), 2.
[23] Al-Baqir dalam Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning ( Bandung: Mizan, 1995), 237
[24] Menurut Zamarkasyi Dofier Islam memasuki arena kehidupan orang Jawa pada masa pertumbuhan dan perluasan Kerajaan Hindu Majapahit. Berkaitan dengan pernyataan Dofier dapat disimpulkan jika kita meyakini bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah ulama awal peletak Islamisasi maka bisa jadi Syekh Jumadil Kubro-lah ulama yang berkiprah didalam Majapahit. Zamarkasyi Dofier, Tradisi Pesantren ( Jakarta: LP3ES, 1982), 8
[25] Van Bruinessen, Kitab Kuning...., 240
[26] Van Bruinessen, kitab kuning...., 239
[27] Agus Sunyoto, Mengkaji...,
[28] Mengenai arti kata pesantren, telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan santri yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Menurut Robson, kat santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang diartikan sebagai orang yang tinggal disebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Walaupun kedua pendapat diatas terdapat perbedaan satu sama lain, masih bisa ditarik benang merah yang sama untuk menafsirkan arti kata “santri”. Keduanya berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil. Bila menengok pendapat pertama, bahwa santri guru mengeji,terdapat persamaan dengan fenomena santri, dimana santri adalah orang-orang yang memperdalam agama kemudian mengajarkannya kepada umat Islam dan orang-orang demikian oleh masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “guru mengaji”. Meski tidak sama redaksinya, pendapat Robson tentang santri bisa diterima karena rumusannya mengandung ciri-ciri yang berlaku bagi santri. Ketika memperdalam ilmu agama, para santri harus tinggal di asrama yang bangunannya merupakan bangunan keagamaan. Kalaupun disebutkan sebagai orang yang tinggal di rumah miskin, ada benarnya. Kehidupan santri dikenal sangat sederhana. Sampai tahun 60-an, pesantren dikenal dengan nam pondok, karena terbuat dari bambu; yang mana pada saat itu masih terdapat kesan kesederhanaan. Hanun Asroha, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta: Depag, 1999), 145
[29] Zamarkasyi Dofier, Tradisi Pesantren....., 23
[30] Ibid
[31] E. Badri Yunardi, Mesjid-mesjid kuno di Gresik Jawa Timur dalam Rudy Harisyah, Sejarah Masjid-masjid Kuno di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1999), 73-76.
[32] Hanun Asroha, Pelembagaan Pesantren (Jakarta: Depag, 2004), 73
[33] Halaqah artinya lingkaran. Seorang guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lantai, yang melingkari gurunya. Kadang-kadang sistem ini juga menggunakan kursi tidak duduk dilantai. Hanun Asroha, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta: Depag, 1999), 49
[34] Hanun Asroha, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta: Depag, 1999), 67
[35] Ibid
[36] Zamarkasyi Dofier, Tradisi Pesantren.....,8
[37] Agus Sunyoto, Mengkaji...,7